Politik Dinasti: Ketika Kekuasaan Berputar dalam Keluarga
Politik dinasti adalah fenomena di mana kekuasaan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, cenderung dikuasai atau diwariskan di antara anggota satu keluarga atau kerabat dekat. Ini bukan hanya tentang monarki atau kerajaan, tetapi juga lazim ditemukan di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia.
Bagaimana Ini Terjadi?
Anggota keluarga yang sudah berkuasa sering menggunakan pengaruh, jaringan, dan sumber daya (finansial atau struktural) yang mereka miliki untuk memuluskan jalan kerabatnya meraih jabatan publik. Ini bisa melalui pemilihan umum, penunjukan, atau bahkan melalui dominasi partai politik yang berujung pada pencalonan anggota keluarga.
Dampak Politik Dinasti:
- Kurangnya Meritokrasi: Prioritas diberikan pada hubungan darah daripada kompetensi, kapasitas, dan rekam jejak. Ini menghambat munculnya pemimpin baru yang berkualitas dari luar lingkaran keluarga.
- Potensi Korupsi dan Nepotisme: Kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu keluarga rentan terhadap praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kepentingan publik.
- Membatasi Partisipasi Publik: Masyarakat cenderung memiliki pilihan yang terbatas, dan proses regenerasi kepemimpinan menjadi terhambat. Ruang bagi warga negara biasa untuk berkompetisi secara adil menjadi sempit.
- Akuntabilitas yang Rendah: Kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan menjadi lebih sulit ketika semua lini diisi oleh orang-orang yang saling terkait secara kekeluargaan, menciptakan "pagar betis" dari kritik dan pengawasan.
Meskipun kadang dianggap membawa stabilitas atau kontinuitas, politik dinasti seringkali menjadi penghalang bagi praktik demokrasi yang sehat. Untuk memastikan pemerintahan yang responsif dan akuntabel, penting bagi masyarakat dan lembaga demokrasi untuk terus mendorong meritokrasi, transparansi, dan partisipasi yang luas, agar kekuasaan benar-benar menjadi amanah rakyat, bukan warisan keluarga.
