Borobudur Writers & Cultural Festival ke-6 yang digelar pada 23 hingga 25 November 2017 mengambil tema besar Gandawyuha. Salah satu relief Candi Buddha terbesar di dunia ini menjadi salah satu rujuna tertua di Nusantara, tentang toleransi dan pluralisme. Atas dasar itulah Borobudur Writer and Cultural Festival mendiskusikan Gandawyuha secara lintas disiplin dengan mengundang para biku, arkeolog, ahli agama Buddha, peneliti sutra dan sebagainya.
YOGYAKARTA-KABARE.CO: Seno Joko Suyono, kurator dalam event ini menjelaskan bahwa ada 460 buah panel Relief Gandawyuha yang dipahatkan pada dinding lorong dua, tiga dan empat di Candi Borobudur yang jarang sekali didiskusikan secara serius. Padahal, relief ini berbicara tentang hal yang sangat relevan di tengah kecenderungan fanatis dan intoleransi agama saat ini.
“Relief ini berbicara tentang kisah pencarian kebenaran tertinggi. Sesuatu yang ada dalam semua agama dan tradisi-tradisi besar dunia kerohanian manapun yang mana di dalamnya tersimpan cerita yang sejalan dengan kemajemukan religi di Indonesia,” tuturnya saat jumpa media, Kamis, 23 November 2017 kemarin di Srimanganti Room, Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Gandawyuha adalah kisah esoteris agama Buddha Mahayana yang berasal dari India Selatan. Kisah ini diperkirakan muncul pada awal abad Masehi yang menceritakan tentang pangeran muda bernama Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi. Kisah Gandawyuha yang terpahat pada di Candi Borobudur akhirnya dipandang sebagai inti dan kunci untuk memahami dimensi ketuhanan Borobudur.
Salim Lee, ahli sutra Gandawyuha yang juga hadir dalam jumpa pers tersebut mengemukakan bahwa Gandawyuha menjadi payung besar untuk mendiskusikan berbagai pengelanaan kerohanian lintas iman dan lintas penghayatan.
Sedangkan Mudji Sutrisno SJ, kurator dan penasehat Borobudur Writers & Cultural Festival mengatakan jika pesan-pesan etik global Gandawyuha relevan untuk merefleksikan ulang masyarakat teknokratis yang kita jalani kini. Mudji juga menambhakan melalui Gandawyuha kita diingatkan bahwa selain keinginan pertumbuhan produksi dan konsumerisme yang tak terkendalikan, yang lebih inti adalah pencarian spiritual yang penuh nilai filantropi dan altruisme.
Borobudur Writers & Cultural Festival 2017 ini menampilkan banyak tokoh, di antaranya Salim Lee (ahli sutra Gandawyuha), Noerhadi Magetsari (arkeolog), Agus Widiatmoko (arkeolog), Niken Wirasanti (arkeolog), Sudrijanta, SJ (romo), Bhikku Santacitto, Oman Fathurahman (filolog), Sudiarto (peneliti/aktivis), Tedi Kholilludin (peneliti), Mikhael Keraf (peneliti/aktivis/romo), Hadi Utomo (peneliti), Ferry Wira Padang (peneliti/aktivis), Laura Romano (aktivis penghayat), Dewi Kanti (aktivis/penghayat), Harles Lamaberaf (peneliti), Maria Darmaningsih (penari), Nungki Kusumastuti (penari), Hanafi (perupa), Yudhi Widyantoro (yoga), Nyoman Sudewi (penari), Tony Prabowo (musisi), Acep Zamzam Noor (penyair), Yudhistira ANM Massardi (penyair), Jefriandi Usman (penari), Iwan Dadijono (penari), Kelompok Kobagi (tari), dan Band Lamalera (musik). (del)
Comments 0