STNK Joki: Praktis Sesat, Konsekuensi Berat?
Fenomena "Joki STNK" bukanlah hal baru di Indonesia. Ini merujuk pada praktik di mana nama pemilik kendaraan yang tertera di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bukanlah pemilik atau pengguna sebenarnya. Meski tampak praktis dan menghemat di awal, praktik ini menyimpan segudang risiko dan implikasi hukum yang serius.
Mengapa Joki STNK Merajalela?
Beberapa alasan utama di balik maraknya joki STNK meliputi:
- Penghindaran Pajak Progresif: Membeli kendaraan kedua atau ketiga dengan nama orang lain untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi.
- Penghematan Biaya Pajak: Menggunakan alamat di daerah dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) atau Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang lebih rendah.
- Kemudahan Transaksi Jual-Beli: Pembelian kendaraan bekas yang malas melakukan proses balik nama, atau pembelian kendaraan baru melalui dealer yang menawarkan kemudahan "joki" untuk alasan tertentu.
- Faktor Praktis/Malas Balik Nama: Enggan mengurus proses administrasi balik nama yang dianggap rumit dan memakan waktu.
Risiko dan Implikasi Hukum
Praktik joki STNK menciptakan kerentanan hukum dan masalah praktis bagi semua pihak:
-
Bagi Pemilik Asli (Pengguna Kendaraan):
- Sulit Jual/Balik Nama: Membutuhkan kehadiran pemilik terdaftar untuk menandatangani dokumen, yang bisa merepotkan jika pemilik terdaftar sulit dihubungi atau tidak bersedia.
- Klaim Asuransi: Polis asuransi seringkali mensyaratkan nama pemilik di STNK sesuai dengan nama tertanggung. Klaim bisa ditolak.
- Tilang Elektronik (ETLE): Surat tilang akan dikirim ke alamat pemilik terdaftar, bukan pengguna. Ini bisa menimbulkan konflik.
- Sengketa Kepemilikan: Jika terjadi perselisihan, bukti kepemilikan yang sah (STNK) ada pada nama orang lain, mempersulit pembuktian.
-
Bagi Pemilik Terdaftar (Joki):
- Tanggung Jawab Pajak: Secara hukum, ia tetap bertanggung jawab atas pembayaran pajak kendaraan.
- Potensi Keterlibatan Hukum: Jika kendaraan terlibat dalam tindak kejahatan atau kecelakaan fatal, pemilik terdaftar bisa dipanggil untuk dimintai keterangan atau bahkan dianggap bertanggung jawab awal.
- Pajak Progresif: Nama yang terdaftar akan dihitung memiliki kendaraan lebih dari satu, sehingga ia sendiri bisa terkena pajak progresif di kemudian hari.
-
Bagi Negara:
- Data Tidak Akurat: Basis data kepemilikan kendaraan menjadi tidak valid, menyulitkan perencanaan dan penegakan kebijakan.
- Potensi Kerugian Pajak: Penghindaran pajak progresif atau pemilihan lokasi pajak yang lebih rendah merugikan pendapatan daerah.
Analisis Hukum
Secara eksplisit, tidak ada pasal dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) yang secara langsung mengkriminalkan praktik "joki STNK". Namun, praktik ini bertentangan dengan semangat pendaftaran kendaraan bermotor yang bertujuan untuk memastikan identitas pemilik yang sah dan jelas.
Pasal 72 UU No. 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap kendaraan bermotor wajib didaftarkan. Tujuan pendaftaran adalah untuk kepentingan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan perencanaan pembangunan nasional. Kepemilikan yang tidak sesuai dengan nama di STNK secara tidak langsung melanggar prinsip ini.
Konsekuensi hukum lebih pada aspek administrasi dan perdata. Upaya penghindaran pajak melalui joki STNK dapat dikategorikan sebagai tindakan tidak patuh pajak. Pemerintah mendorong proses Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk memastikan kesesuaian data kepemilikan.
Kesimpulan
Meskipun terlihat mudah dan hemat di awal, praktik "Joki STNK" adalah kepraktisan yang menyesatkan dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serta kerugian yang jauh lebih besar di kemudian hari. Prioritaskan kepemilikan yang sah dengan melakukan proses balik nama (BBNKB) sesuai ketentuan hukum. Ini adalah langkah bijak untuk menghindari masalah di masa depan dan mendukung tertib administrasi negara.