Berita  

Kejadian Burnout Berjangkit di Golongan Pekerja Belia

Terbakar Sebelum Bersinar: Fenomena Burnout di Kalangan Pekerja Belia

Angkatan kerja belia, yang seharusnya penuh semangat dan ide-ide segar, kini dihadapkan pada ancaman senyap yang semakin meluas: burnout. Fenomena ini bukan lagi sekadar kelelahan biasa, melainkan kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang ekstrem, seolah-olah energi mereka terkuras habis bahkan sebelum mencapai puncak karier. Ini adalah "wabah" yang berjangkit di tengah generasi muda yang seharusnya paling produktif.

Mengapa Ini Terjadi?

Pemicu burnout di kalangan pekerja belia sangat kompleks, merupakan kombinasi dari tekanan eksternal dan internal:

  1. Ekspektasi Tinggi dan Budaya "Hustle": Lingkungan kerja modern sering menuntut produktivitas non-stop, multitasking, dan ketersediaan "24/7". Budaya "hustle" yang mengagungkan kerja keras tanpa henti membuat mereka merasa bersalah jika beristirahat.
  2. Tekanan Media Sosial: Paparan konstan terhadap citra kesuksesan dan pencapaian rekan sebaya di media sosial memicu perbandingan, FOMO (Fear of Missing Out), dan rasa tidak cukup, mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi.
  3. Batas Kerja-Hidup yang Kabur: Era remote work dan digitalisasi membuat batas antara kehidupan pribadi dan profesional semakin tipis, sulit untuk "mematikan" pekerjaan.
  4. Ketidakpastian Ekonomi: Kekhawatiran akan masa depan finansial dan persaingan kerja yang ketat mendorong mereka untuk terus berjuang, bahkan saat sudah di ambang batas.

Dampak yang Mengkhawatirkan

Burnout tidak hanya mengurangi produktivitas. Ia mengikis kesehatan mental pekerja belia, memicu kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan bahkan masalah fisik. Mereka kehilangan motivasi, menjadi apatis, dan merasa terasing dari pekerjaan yang dulu mereka impikan. Bagi perusahaan, ini berarti peningkatan angka turnover, hilangnya talenta berharga, dan lingkungan kerja yang kurang inovatif.

Menyala Kembali Tanpa Terbakar Habis

Mengatasi burnout membutuhkan upaya kolektif:

  • Bagi Individu: Pekerja belia perlu belajar menetapkan batasan yang jelas, memprioritaskan self-care, tidak ragu mencari dukungan profesional atau sekadar bicara dengan orang terdekat, dan menyadari bahwa istirahat adalah bagian dari produktivitas.
  • Bagi Perusahaan: Menciptakan budaya kerja yang sehat, menghargai waktu istirahat, menyediakan dukungan kesehatan mental, menetapkan ekspektasi yang realistis, dan mempromosikan fleksibilitas kerja adalah kunci.

Fenomena burnout di kalangan pekerja belia adalah alarm yang harus kita dengar dan tangani serius. Mengabaikannya berarti merelakan potensi besar generasi mendatang. Dengan kesadaran, dukungan, dan perubahan sistemik, kita bisa membantu mereka bersinar terang tanpa harus terbakar habis di tengah jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *